Thursday, November 25, 2010

Epistaksis ( mimisan )


II.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung. Piramid hidung terdiri dari : pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi (alae=sayap), kolumela, nares anterior. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di tengahnya menjadi kavum nasi dekstra dan sinistra. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu : medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial adalah septum yang dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terbawah adalah konka inferior, yang lebih kecil adalah konka medial, lebih kecil lagi konka superior dan supreme. Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.


Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat – obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.


Perdarahan hidung

Bagian atas rongga hidung didarahi oleh a etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a oftalmika dari a. Karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris interna yaitu arteri palatine mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari arteri fasialis. Bagian depan septum terdapat anastomosis (gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai pleksus kiesselbach (little’s areas)

Vena vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara di v oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena dihidung tidak memiliki katup , sehingga merupakan factor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi ke intracranial

Fisiologi hidung
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.





II.2. Definisi
Epistaksis atau mimisan adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung. Dari asal perdarahannya epistaksis terbagi atas epistaksis anterior dan posterior. Untuk kasus epistaksis anterior, trauma berasal dari bagian depan hidung, di mana asal pendarahannya berasal dari pleksus kiesselbach atau arteri etmoid anterior. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior dari arteri etmoidalis posterior dan arteri splenopalatina.

II.3. Epidemiologi
Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum. Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10 tahun dan >50 tahun.

II.4. Etiologi
Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal hidung atau kelainan sistemik.
Kelainan lokal adalah :
- Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan, misalnya mengorek hidung, benturan ringan, bersin yang terlalu keras, kena pukul, kecelakaan, atau bisa juga akibat benda asing yang tajam dan trauma pembedahan. Dapat juga disebabkan oleh spina, perdarahan terjadi di spina itu sendiri atau mukosa konka yang berhadapan.
- Tumor
Epistaksis berat sering timbul pada angiofibroma, tumor lain penyebab epistaksis adalah hemangioma dan karsinoma.
- Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada rhinitis dan sinusitis
- Kelainan Pembuluh darah lokal
Biasanya merupakan kelainan kongenital, misalnya pembuluh darah yang lebih leber, tipis, jaringan ikat dan sel – selnya lebih sedikit.
- Perubahan udara dan tekanan atmosfir.
Epistaksis ringan sering terjadi bila seorang berada di tempat yang sangat dingin atau kering. Hal-hal serupa dapat juga disebabkan oleh zat-zat kimia industri yang menyebabkan keringnya mukosa hidung.

Kelainan Sistemik adalah :
- Kelainan darah
Misalnya Hemofilia, Leukemia, trombositopenia, dan berbagai macam anemia
- Kelainan Kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, atau diabetes melitus bisa menyebabkan epistaksis.
- Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis adalah Demam berdarah dengue.
- Gangguan hormonal
Epistaksis dapat terjadi pada wanita hamil dan menopause.
- Telangiektasia hemoragik herediter (Osler weber rendu disease). Merupakan penyakit autosomal dominan yang ditunjukkan dengan adanya perdarahan berulang karena anomali pembuluh darah.
- Obat-obatan : NSAID, aspirin, warfarin, agen kemoterapeutik.
- Defisiensi Vitamin C dan K.

II.5. Patofisiologi

Hidung kaya akan vaskularisasi yang berasal dari arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna. Bagian septum nasi anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara, hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada pembuluh darah tersebut. Trauma ringan dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah hidung, karena pembuluh darah kurang dapat berkontraksi, pembuluh darah terletak antara periosteum dan mukosa tipis dan tidak ada bantalan yang melindungi pembuluh darah. Hal ini terutama terjadi pada membran mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi atau sinusitis. Sedangkan begaimana perdarahan spontan terjadi belum ada mekanisme yang jelas.

II.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis dan Pemeriksaan fisik :
• Umur
• Keadaan umum
• Tensi dan nadi
• Trauma
• Tumor
• Deviasi septum/spina septum
• Infeksi
• Kelainan kongenital
• Hipertensi
• Kelainan darah
• Perubahan tekanan atmosfir mendadak
• Gangguan endokrin

Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan keadaan umum pasien, apakah sangat lemah ataukah ada tanda-tanda syok, sebagai akibat banyaknya darah yang keluar bila mungkin lakukan pemeriksaan rinoskopi anterior dengan pasien dalam posisi duduk
Untuk melakukan pemeriksaan yang adekuat, pasien harus ditempatkan pada ketinggian yang memudahkan pemeriksaan bekerja, harus cukup untuk menginspeksi sisi dalam hidung. Sisi anterior hidung harus diperiksa dengan spekulum hidung. Spekulum harus disokong dengan jari telunjuk pada ala nasi. Kemudian pemeriksa menggunakan tangan yang satu lagi untuk mengubah posisi kepala pasien untuk melihat semua bagian hidung. Hidung harus dibersihkan dari bekuan darah dan debris secara memuaskan dengan alat penghisap. Lalu dioleskan senyawa vasokonstriktif topikal seperti efedrin atau kokain untuk mengerutkan mukosa hidung. Pemeriksaan harus dilakukan dalam cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat.
Sumber perdarahan dapat ditentukan dengan memasang tampon yang telah dibasahi dengan larutan pantokain 2% dan beberapa tetes adrenalin 1/1000. setelah beberapa menit tampon diangkat dan bekuan darah dibersihkan dengan alat penghisap.

Pemeriksaan Penunjang
Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan pemeriksaan penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat lakukan pemeriksaan lainnya untuk memperkuat diagnosis epistaksis.
• Pemeriksaan darah tepi lengkap.
• Fungsi hemostatis
• EKG
• Tes fungsi hati dan ginjal
• Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring.
• CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda asing dan neoplasma.

II.7. Diagnosis Banding
Sebagian besar pasien epistaksis mempunyai tempat perdarahan yang terletak anterior dalam cavitas nasalis akibat kejadian traumatik ringan, misalnya perdarahan bisa akibat memasukkan objek (lazim suatu jari tangan). Keadaan kering, terutama musim dingin, akibat sistem pemanasan dan kurangnya kelembaban, maka membrana hidung menjadi kering dan retak yang menyebabkan permukaannya berdarah. Area ini tepat mengelilingi perforasi septum atau deviasi septum bisa menjadi kering karena aliran udara hidung abnormal dan bisa timbul perdarahan. Pada kelompok usia pediatri, benda asing dan alergi menjadi sebab lazim epistaksis. Beberapa anak bisa berdarah akibat ruptura pembuluh darah septum yang membesar yang muncul dari lantai hidung. Perdarahan juga dapat terjadi pada trauma pembuluh darah disekitar basis cranii yang kemudian masuk ke hidung melalui sinus sphenoid atau tuba eustachius.

II.8. Penatalaksanaan

Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga ABC
A : airway : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk menunduk
B : breathing: pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau keluarkan darah yang mengalir ke
belakang tenggorokan
C : circulation : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah tubuh, pastikan pasang jalur infus intravena (infus) apabila terdapat gangguan sirkulasi
- posisikan pasien dengan duduk menunduk untuk mencegah darah menumpuk di daerah faring posterior sehingga mencegah penyumbatan jalan napas
Hentikan perdarahan :
- Metode Trotter
Tekan pada bagian depan hidung selama 10 menit. Tekan hidung antara ibu jari dan jari telunjuk .
- jika perdarahan berhenti tetap tenang dan coba cari tahu apa faktor pencetus epistaksis dan hindari
- jika perdarahan berlanjut :
- dapat akibat penekanan yang kurang kuat
- bawa ke fasilitas yang lengkap dimana dapat diidentifikasi lokasi perdarahan
- diberikan vasokonstriktor (adrenalin 1:10.000, oxymetazolin-semprot hidung) ke daerah perdarahan
- apabila masih belum teratasi dapat dilakukan kauterisasi elektrik/kimia (perak nitrat) atau pemasangan tampon hidung

Terapi simptomatis Umum :
• Tenangkan penderita, jika penderita khawatir perdarahan akan bertambah hebat, sumbat hidung dengan kapas dan cuping hidung dijepit sekitar 10 menit.
• Penderita sebaiknya duduk tegak agar tekanan vaskular berkurang dan mudah membatukkan darah dari tenggorokan, menggunakan apron plastik serta memegang suatu wadah berbentuk ginjal untuk melindungi pemakainya.
• Kompres dingin pada daerah tengkuk leher dan juga pangkal hidung.
• Turunkan tekanan darah pada penderita hipertensi.
• Hentikan pemakaian antikoagulan.
• Pemberian cairan elektrolit pada perdarahan hebat, dan keadaan pasien lemah

Terapi Lokal
1. Buang gumpalan darah dari hidung dan tentukan lokasi perdarahan.
2. Pasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan lidokain atau pantokain untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri.
3. Setelah perdarahan berhenti, dilakukan penyumbatan sumber perdarahan dengan menyemprotkan larutan perak nitrat 20-30% (atau asam trikloroasetat 10%), atau dengan elektrokauter. Bila terdapat pertemuan pembuluh darah septum anterior dan lokasi perdarahan ditemukan, maka terbaik mengkauterisasi bagian pinggirnya dan tidak benar-benar di pembuluh darah itu sendiri karena kauterisasi langsung pada pembuluh darah tersebut biasanya akan menyebabkan perdarahan kembali. Harus hati-hati agar tidak membuat luka bakar yang luas dan nekrosis jaringan termasuk kartilago dibawahnya sehingga terjadi perforasi septum nasi.
4. Cara yang paling baik untuk mengontrol epistaksis anterior (setelah dekongesti dan kokainisasi) dengan suntikan 2 ml lidokain 1% di regio foramen incisivum pada dasar hidung. Pengontrolan perdarahan anterior dengan cara ini dapat menghindari masalah perforasi septum, karena elektrokauterisasi diberikan ke tulang dasar hidung dan bukan pada septum.
5. Bila dengan cara tersebut perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan pemasangan tampon anterior yang telah diberi vaselin atau salep antibiotika agar tidak melekat sehingga tidak terjadi perdarahan ulang saat tampon dilepaskan. Tampon dibuat dari lembaran kasa steril bervaselin, berukuran 72 x ½ inci, dimasukkan melalui lubang hidung depan, dipasang secara berlapis mulai dari dasar sampai puncak rongga hidung dan harus menekan sumber perdarahan. Tampon dipasang selama 1-2 hari, sebagian dokter juga melapisi tampon dengan salep antibiotik untuk mengurangi bakteri dan pembentukan bau.


6. Dapat juga digunakan balon intranasal yang dirancang untuk menekan regio septum anterior (pleksus kiesselbach) atau daerah etmoidalis. Cara ini lebih mudah diterima pasien karena lebih nyaman
Perdarahan posterior ditanggulangi dengan Tampon bellocq. Dibuat dari kassa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Terikat 3 utas tali benang, 2 buah di satu sisi dan 1 di sisi berlawanan. Atau sebagai pengganti dapat digunakan kateter folley dengan ballon. Akhir akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan ballon khusus untuk hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik.


Medikamentosa
• Pada pasien yang dipasang tampon anterior, berikan antibiotik profilaksis.
• Vasokontriktor topikal : Oxymetazoline 0,05%.
i. Menstimulasi reseptor alfa-adrenergik sehingga terjadi vasokonstriksi.
ii. Dosis : 2-3 spray pada lubang hidung setiap 12 jam.
iii. Kontraindikasi : hipersensitivitas
iv. Hati-hati pada hipertiroid, penyakit jantung iskemik, diabetes melitus, meningkatkan tekanan intraokular.
• Anestesi lokal : lidokain 4%
• Digunakan bersamaan dengan oxymetazoline
• Menginhibisi depolarisasi, memblok transmisi impuls saraf
• Kontraindikasi : hipersensitivitas.
• Salep antibiotik : mopirocin 2% (Bactroban Nasal)
i. menghambat pertumbuhan bakteri.
ii. Dosis : 0,5 g pada setiap lubang hidung selama 5 hari.
iii. Kontraindikasi : hipersensitivitas.
iv. Perak Nitrat
v. Mengkoagulasi protein seluler dan menghancurkan jaringan granulasi.
vi. Kontraindikasi : hipersensitivitas, kulit yang terluka.10,11
Intervensi radiologi, angiografi dengan embolisasi percabangan arteri karotis
intema. Hal ini dilakukan jika epistaksis tidak dapat dihentikan dengan tampon.

Pembedahan
• Ligasi Arteri
Ligasi arteri etmoid anterior dilakukan bila dengan tampon anterior perdarahan masih terus berlangsung. Ligasi dilakukan dengan membuat sayatan mulai dari bagian medial alis mata,lalu melengkung ke bawah melalui pertengahan antara pangkal hidung dan daerah kantus media. Insisi langsung diteruskan ke tulang, dimana periosteum diangkat dengan hari-hari dan periorbita dilepaskan, lalu bola mata ditarik ke lateral, arteri etmoid anterior merupakan cabang arteri optalmika terletak pada sutura frontomaksilolaksimal. Pembuluh ini dijepit dengan suatu klip hemostatik, atau suatu ligasi tunggal.
• Septal dermatoplasty pada pasien osler-weber-rendu-syndrome mukosa septum diambil dan kartilago diganti dengan skin graft.

Follow up
• Cegah perdarahan ulang dengan menggunakan nasal spray
• Berikan antibiotika oral dan topikal untuk mencegah rinosinusitis
• Kontrol masalah medis lainnya seperti hipertensi, defesiensi vitamin k melalui konsultasi dengan penyakit dalam atau kesahatan anak.
• Edukasi pasien :
o Hindari cuaca yang panas dan kering
o Hindari makanan yang pedas dan panas
o Bernafas dengan mulut terbuka.



II. 9 Komplikasi
• Komplikasi epistaksis :Hipotensi, hipoksia, anemia, aspirasi pneumonia
• Komplikasi kauterisasi : Sinekia, perforasi septum
• Komplikasi pemasangan tampon : Sinekia, rinosinusitis, sindrom syok toksik, Perforasi septum, tuba eustachius tersumbat, aritmia (overdosis kokain atau lidokain )
• Komplikasi embolisasi : Perdarahan hematom, nyeri wajah, hipersensitivitas, paralisis fasialis, infark miokard.
• Komplikasi ligasi arteri : kebas pada wajah, sinusitis, sinekia, infark miokard. 6,10,15

II.10. PROGNOSIS
Prognosis epistaksis bagus tetapi bervariasi. Dengan terapi yang adekuat dan control penyakit yang teratur, sebagian besar pasien tidak mengalami perdarahan ulang. Pada beberapa penderita, epistaksis dapat sembuh spontan tanpa pengobatan. Hanya sedikit penderita yang memerlukan pengobatan yang lebih agresif

No comments:

Post a Comment